Biji jeruk #7
Sore ini kita duduk berdua diatas tanggul. Jalan-jalan berdua yang kesekian kalinya. Hari ini cukup buruk. Ujian biologiku tidak berjalan dengan baik. Entah bagaimana aku bisa lupa klasifikasi fungi. Hal ini menjadi buruk karena aku begitu menyukai pelajaran ini, mati-matian belajar, begadang dan aku bisa melupakan hal yang seharusnya mudah.
“dek,” panggilmu. Mungkin mulai bosan dengan kediamanku.
“hm?” kataku tanpa menoleh.
“tau gak, dulu waktu abang masih kecil pernah nelan biji jeruk” katamu bersemangat.
aku menoleh kearahmu, tapi masih tetap diam. Menunggu kau melanjutkan ceritamu.
“iya. Trus kakak abang bilang kalau nelan biji jeruk, nanti diperutnya tumbuh jeruk.” Lanjutmu.
“kan waktu itu abang masih kecil, jadi abang percaya-percaya aja. Trus abang Tanya ‘jadi gimana kak?’ abang tanya kan. Trus abang kakak bilang ‘kalau kau minum sama aja kayak kau nyiram, nanti jadi makin besarlah, trus tumbuh jadi pohon jeruk.’ Dia bilang gitu masak’’ lanjutmu lagi.
“trus?” kataku lagi akhirnya buka suara.
“iya, trus satu harian itu abang gak minum. Biasanya kan abang suka minta bakso yang lewaat dari depan rumah, disitu abang gak ada minta, walaupun sebenarnya pengen” katamu sambil tertawa kecil. “abang takut kan. Tapi lama-lama setelah abang pikir-pikir, biarin aja pohon jeruknya tumbuh, jadi bisa makan jeruk gratis kan setiap hari? Atau bisa juga jeruknya dijual dan abang jadi pengusaha jeruk” katamu dengan mimik serius.
Aku tertawa. Walau sebenarnya apa yang kau katakan sama sekali tidak lucu, bahkan terkesan garing, tapi aku tau kau sedang berusaha menghiburku.
“aku suka kau tertawa,” jawabanmu tanggung. “apalagi kalau karena aku” lanjutmu lagi. “ya, walau aku tahu sebenarnya aku tidak lucu” lanjutmu sambil menatap kedepan.
“terimakasih” katamu lagi.
“untuk?” tanya ku bingung.
“karena sudah mau tetap tertawa dan tetap tersenyum” katamu.
Aku mengelum senyum.
“terimakasih juga” jawabku.
“untuk?” tanyamu.
“Karena tetap berusaha menjaga senyumku” jawabku.
Akhirnya hari itu kita jalani dengan baik. Aku sudah melupakan masalah fungi tadi. Terimakaasih penjaga senyumku.
“dek,” panggilmu. Mungkin mulai bosan dengan kediamanku.
“hm?” kataku tanpa menoleh.
“tau gak, dulu waktu abang masih kecil pernah nelan biji jeruk” katamu bersemangat.
aku menoleh kearahmu, tapi masih tetap diam. Menunggu kau melanjutkan ceritamu.
“iya. Trus kakak abang bilang kalau nelan biji jeruk, nanti diperutnya tumbuh jeruk.” Lanjutmu.
“kan waktu itu abang masih kecil, jadi abang percaya-percaya aja. Trus abang Tanya ‘jadi gimana kak?’ abang tanya kan. Trus abang kakak bilang ‘kalau kau minum sama aja kayak kau nyiram, nanti jadi makin besarlah, trus tumbuh jadi pohon jeruk.’ Dia bilang gitu masak’’ lanjutmu lagi.
“trus?” kataku lagi akhirnya buka suara.
“iya, trus satu harian itu abang gak minum. Biasanya kan abang suka minta bakso yang lewaat dari depan rumah, disitu abang gak ada minta, walaupun sebenarnya pengen” katamu sambil tertawa kecil. “abang takut kan. Tapi lama-lama setelah abang pikir-pikir, biarin aja pohon jeruknya tumbuh, jadi bisa makan jeruk gratis kan setiap hari? Atau bisa juga jeruknya dijual dan abang jadi pengusaha jeruk” katamu dengan mimik serius.
Aku tertawa. Walau sebenarnya apa yang kau katakan sama sekali tidak lucu, bahkan terkesan garing, tapi aku tau kau sedang berusaha menghiburku.
“aku suka kau tertawa,” jawabanmu tanggung. “apalagi kalau karena aku” lanjutmu lagi. “ya, walau aku tahu sebenarnya aku tidak lucu” lanjutmu sambil menatap kedepan.
“terimakasih” katamu lagi.
“untuk?” tanya ku bingung.
“karena sudah mau tetap tertawa dan tetap tersenyum” katamu.
Aku mengelum senyum.
“terimakasih juga” jawabku.
“untuk?” tanyamu.
“Karena tetap berusaha menjaga senyumku” jawabku.
Akhirnya hari itu kita jalani dengan baik. Aku sudah melupakan masalah fungi tadi. Terimakaasih penjaga senyumku.
Posting Komentar untuk "Biji jeruk #7"