Sebuah percakapan : Rama, Shinta dan Rahwana
“Kenapa orang-orang begitu memuja Rama dalam kisah Ramayana? Tidak mampukah mereka melihat betapa cintanya Rahwana kepada Shinta?” tanyaku tiba-tiba pada sore yang dingin dipenghujung bulan Desember. Yang ditanya perlahan mengangkat kepalanya dari buku yang dibacanya, kemudian menatapku seakan bertanya ‘ha?’.
“iya, mengapa orang-orang begitu memuja dan berbahagia saat Rama bersatu kembali dengan Shinta? Padahal Rama sudah menolak Shinta karena menganggap Shinta tidak suci lagi. Belum lagi Shinta harus menceburkan diri kedalam api untuk membuktikan kesuciannya. Bukankah cukup bagi seorang Rama untuk melihat bahwa Shinta selamat dari penculikan Rahwana?” tanyaku masih dengan menggebu-gebu. Entah mengapa bagiku Rahwana diperlakukan tidak adil disini.
Dia meletakkan buku diatas meja kayu. Kulihat kedua alisnya menyatu, memikirkan pertanyaanku mungkin. “Rama mencintai Shinta. Dia melakukan perjuangan yang sangat keras untuk mendapatkan Shinta. Itulah kenapa dia bersikeras untuk menyelamatkan Shinta dari Rahwana. Tapi mungkin bagi Rama, kesucian Shinta juga penting. Itu wajar saja menurutku, apa yang salah dengan itu?” tanyanya kembali sambil mengangkat green tea latte-nya dan menghirup aromanya sebelum meminumnya.
“ya oke, tapi tidakkah kita melihat betapa tulusnya seorang Rahwana kepada Shinta? Aku memang tidak tau apakah Shinta telah disentuh oleh Rama saat itu. Tapi dalam cerita itu Rahwana tidak mempertanyakannya. Dia hanya terlalu cinta dengan Shinta dengan cara yang salah. Berusaha merebut Shinta dan berjuang mendapatkannya. Rahwana begitu mencintai Shinta.” Kataku lagi.
“Lalu kamu maunya ceritanya gimana?” katanya sambil menopangkan dagu dan menatap tajam kemataku.
“Ya, entahlah, paling tidak jangan begitu membuat image seorang Rahwana seakan-akan adalah seorang yang sangat jahat. Dia hanya terlalu mencintai Shinta, cintanya tidak berbalas, kemudian dia melakukan kesalahan.” Kataku sambil mengangkat mocca latte-ku, menghirup aromanya, kemudian meminumnya.
“Jika kau jadi Shinta, siapa yang akan kau pilih, Rama, seseorang yang sangat kau cintai, atau Rahwana seseorang yang sangat mencintaimu dan bersedia menerimamu apa adanya?” tanyanya lagi. Kali ini dia menopangkan kedua tangannya di dagu.
Aku terdiam. Masih dalam posisi yang sama, memegang gelas ditanganku, dan dia yang bertopang dagu.
“Sayang, aku tau, kamu pasti lagi baca buku disini. Kamu harus pulang, ini uda jam 6 sore loh. Ayok, aku antar ya, aku bayar dulu minuman kamu dikasir.” Pacarku tiba-tiba telah berdiri disampingku. Mengangguk sebentar kepada teman bicaraku sejak tadi, kemudian menuju meja kasir.
“hah, itulah..” kulihat dia menutup bukunya. “Terkadang manusia terlalu pandai menafsirkan parasaan manusia lain, tapi tidak pandai mengetahui apa yang dirasakannya sendiri.” Katanya sambil tersenyum padaku. “Termasuk kamu. Tapi kamu juga tidak pandai membaca perasaan seseorang yang selalu bersamamu, atau kau sebenarnya sudah tau, tapi pura-pura tidak tau. “ dia masih tersenyum. “entah aku menjadi Rama atau Rahwana, entah pacarmu yang menjadi Rama atau Rahwana, tapi Shinta harus segera memutuskan, siapa yang harus dipilihnya.” Lanjutnya. Diangkatnya gelasnya dan meminumnya sampai habis. “aku permisi. Bilang pacarmu terimakasih atas traktirannya.” Katanya sambil pergi.
Posting Komentar untuk "Sebuah percakapan : Rama, Shinta dan Rahwana"