Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Cara Download Files & Soal

Sejarah Pustaha Laklak dan Simbol Kemaritiman Orang Batak

Perahu Batak-Parau bersama penumpang

Kumanmu.com - Kitab kuna Batak yang ditulis pada kulit kayu

Etnis Batak adalah salah satu suku bangsa di Nusantara yang beruntung karena tidak saja kaya akan peninggalan budaya materi maupun adat istiadat, namun juga diwarisi para leluhurnya dengan karya-karya tulis yang disebut dengan Pustaha Laklak, kitab-kitab kuna Batak yang ditulis pada kulit kayu. Pustaha merupakan adaptasi dari kata pustaka yang berasal dari bahasa Sanskerta. Kesamaan itu memunculkan pendapat yang dikemukakan KF Holle dan H Kern yang menyatakan bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi. Teori lain dikemukakan oleh Engelbertus EW Schroder yang mencoba menghubungkan aksara Batak dengan aksara Phoenesia (coeniform). Melalui aksara Batak yang diwujudkan dalam pustaha laklak itu setidaknya telah membuktikan bahwa suku bangsa Batak tidak seterbelakang sebagaimana dahulu dibayangkan orang saat membicarakan sejarah Batak (wilayah dan masyarakatnya) di Indonesia.
Secara umum dapat disebutkan bahwa pustaha laklak adalah benda bersurat. Bentuknya seperti akordeon yang dituliskan di kulit kayu, bambu, dan tulang atau tanduk kerbau. Ini adalah manuskrip berisi tradisi masa lalu. Merefleksikan gambaran peradaban suku bangsa Batak yang mengandung nilai tradisional, sastra klasik dan lainnya. Manuskrip ini merupakan buku atau teks yang berisi tentang hal-hal yang bersifat rahasia, serta umumnya berisi tentang ritual, simbol, mitos, pengobatan (haubatan), pertanggalan hari baik dan hari tidak baik (parhalaan), porsili, dan dibuat oleh seorang dukun (datu).

Menulis di atas kulit kayu yang dilipat

Terkait dengan media penulisan, pertulisan pada bambu, tulang dan tanduk kerbau biasanya hanya membicarakan hal-hal khusus dengan kalimat singkat. Adapun sebagai sarana penyimpan pengetahuan akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, para datu menggunakan media berupa kulit kayu yang dilipat-lipat yang dapat memuat lebih banyak pertulisan.
Proses pembuatan pustaha laklak dimulai dari pencarian bahan baku laklak (media yang ditulisi) yang terbuat dari kulit kayu alim/gaharu (Aquilaria) atau kulit kayu pohon terep, sejenis pohon sukun (Artocarpus altilis) yang masuk dalam famili/suku Moraceae). Kemudian kulit kayu dikupas dari pokoknya sehingga menghasilkan kupasan—kulit dalam yang telah dipisahkan dari kulit luar yang kering—yang dapat mencapai panjang 7 meter dengan lebar sekitar 60 cm. Ukuran ini tergantung pada besar/diameter pohon. Selanjutnya permukaan kulit kayu yang masih kasar itu dihaluskan menggunakan sebilah pisau. Setelah dihaluskan, maka kulit kayu itu diketam menggunakan parang, dan kemudian digosok dengan jenis daun yang kasar agar permukaan kulit kayu tadi menjadi lebih halus. Laklak yang sudah bersih dan halus itu dilipat menyerupai akordeon, dan dipukul-pukul dengan palu kayu dan sisi-sisinya dipotong dengan pisau agar menjadi lebih lurus dan rapi. Laklak yang sudah kering siap ditulisi.

Kalam dan mangsi

Alat untuk menuliskan aksara atau mengguratkan gambar pada laklak berupa kalam, pena berbahan lidi pohon enau (Arenga pinnata). Tinta yang disebut mangsi dibuat dari campuran jelaga, air kulit jeruk, dan air tebu merah. Tinta juga dibuat dari cairan lelehan hasil bakaran ranting pohon jeruk. Mangsi menghasilkan warna-warna hitam, merah, dan kadang-kadang warna coklat. Selanjutnya untuk memudahkan penulisan, membawa dan menyimpan maka pada kedua ujung laklak yang telah ditulisi tadi—yakni pada bagian yang kelak menjadi lembar halaman pembuka dan lembar halaman penutup naskah—diberi sampul. Sampul bagian depan biasanya berhiaskan gambar cecak (boraspati).
Saat ini objek dimaksud masih tersimpan di beberapa keluarga Batak, dan dianggap sebagai benda warisan yang dipelihara secara turun temurun. Di kota Medan masih dapat dijumpai sebagai koleksi Museum Negeri Sumatera Utara. Pustaha laklak juga masih dijumpai sebagai koleksi beberapa museum lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti Belanda dan Jerman.
Dalam kesempatan kali ini akan disampaikan beberapa hal yang dapat diketahui dari pustaha laklak terkait beberapa kata yang mendeskripsikan tentang kemaritiman, dan dunia perairan lainnya seperti kata parau, ihan, dengke , dewi air (boru saniang naga) dan bahan perahu.
Data pada Pustaha Laklak

Parau

Parau atau perahu di dalam pustaha laklak tidak hanya dituliskan menggunakan tinta warna hitam tetapi juga digambarkan dengan empat orang penumpang yang ikut berlayar. Penggambaran perahu sangat jelas dengan adanya bagian buritan dan bagian depan. Dalam pustaha lak-lak disebutkan:
……ma [1] sibiyang2 satutu3 inon asa4 da5 sahat6 ama7 ganna8 inon asa dapapuna9 tu10parau11 siruma12 na godang13 ……
Kata perahu ini dijumpai pada pustaha laklak Batak Toba dengan nomer inventaris 2215 yang merupakan koleksi Museum Negeri Sumataera Utara. Secara keseluruhan isi teks ini mengungkapkan tentang Panghulubalang yang digunakan untuk melawan musuh serta beberapa mantra dan harus dilengkapi sebagai persyaratan yang diinginkan datu atau dukun (Hartini, 2002 : 1).

Parau bersama penumpang (dok : Meseum Negeri SU, no. 2215)

Pustaha laklak

Kata perahu juga dijumpai dalam pustaha laklakdi perpustakaan Leiden University di Belanda. Pustaha laklak dimaksud menyebutkan tentang desa marga Lontung yang berderet sebaris. Memiliki rumah beratapkan kecil terbuat dari anyaman pandan, memiliki perahu yang terbuat dari batang pohon, ada kumbang hitam penggerat kayu, ada burung nanggarjati (burung di dalam cerita Batak yang dikatakan dapat terbang ke benua atas). Demikian disebutkan …..parbanjar, [2]4 tongatonga,15 paruma tungkap paung,16 parparau17 toras tu tunggul18ni lautan, parpidongpidong gustung19, pidong nanggardjati20… dan …. ima goarmu21, tu habinsaran ma hutam22. Lontung ma margam,23 pasahat ma di ahu bobak di hoda na bara24…… (Tobing, 1963:50–51).
Kalimat tersebut di atas diterjemahkan oleh Tobing dengan ….your village shall be in the centre, your sawah or rice field shall be round and situated on a slope, your proa shall be of hard wood, fit for navigation on the wide seas; your bird shall be of species of ’gustung’, the Nanggardjati bird…. (Tobing, 1963:50–51). Terjemahkan ulangnya adalah: ….desanya di tengah-tengah berderet sebaris, rumah-rumahnya beratap kecil dan dari anyaman daun pandan, perahunya terbuat dari pohon yang berdaun kecil (?), banyak terdapat kumbang hitam penggerat kayu, dan burung Nanggarjati, burung yang dapat terbang ke benua atas…. Kata paruma tungkap paung itu berarti rumah-rumahnya beratap kecil dari anyaman daun pandan.
Perahu besar
Dalam pustaha laklak itu juga disebutkan tentang perahu berukuran besar ….ai ho do parbanjar julu, paruma tungkup paung, parparau hopal na bolon, partalitali partumtuman…. (Tobing, 1963:48). Ini memerlihatkan rumahnya berbanjar di hulu rumahnya beratap kecil dan terbuat dari anyaman pandan, ada berperahu yang besar, menggunakan ikat kepala (destar) yang dililitkan di kepala….. . Perlu diketahui bahwa ikat kepala (tali-tali) ini hingga kini masih sering digunakan oleh penduduk di Tano Batak sebagai penutup kepala dengan cara dililitkan.

Dengke atau ihan (ikan)

Dengke atau ihan (ikan) ternyata merupakan salah satu syarat yang harus disiapkan untuk upacara selain mantra, rempah-rempah, dan ayam yang digunakan sebagai sarana oleh datu (dukun) untuk menyakiti musuh, atau bahkan untuk membuat musuh mati. Ikan yang dibutuhkan bukan ikan yang hidup melainkan ikan mati di laut. Hal itu merupakan salah satu syarat yang tidak dapat ditinggalkan. Ini tertera pada pustaha lak-lak MAPAS atau Menantang Yang Anggap Enteng. Pustaha laklak beraksara dan berbahasa Toba itu sudah dalam kondisi sangat rusak. Sekarang tersimpan di Museum Negeri Sumatera Utara. Pustaha MAPAS telah ditransliterasikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, beserta dengan gambar-gambar yang tertera di dalamnya (Purba, 1998:2).
Dalam adat Batak, ikan dapat digunakan juga sebagai simbol, misalnya yang disebut dengke saur, adalah ikan yang dibumbui dengan air limau, aek pangir, hunik (kunyit) dan menjadi santapan dalam upacara adat. Hidangan ikan ini dipersembahkan dan dimakan bersama-sama sebagai simbol agar semua keinginan dapat terwujud. Demikian p[ula halnya dengan memakan dengke na porngis (ikan yang gemuk), yang sekaligus merupakan lambang kelimpahan sehiongga orang-orang yang menikmatinya dalam kesempatan itu akan mendapatkan karunia umur panjang dan hidup yang berbahagia (Vergouwen, 1986:103).

Dengke atau ihan (dok.: Museum Negeri SU)

Sajian upacara

Ikan mati di laut (dengke na mate di laut) digunakan juga sebagai bahan untuk sajian pada saat upacara. Adapun salah satu syaratnya adalah ..dohot di ulu ni manuk patiaraja dohot di babi mate sadari asa mate diasarna ihur ni huting dohot unte na marusrus dohot haluang na marasar dohot tarugi na pogo di bonanana ima sinoro ni dohot dengke na mate di laut…. (Purba, 1998:95). Terjemahan ….kepala burung patiaraja (manuk patiaraja adalah burung kecil yang bercorak-corak yang dalam cerita dongeng bertindak sebagai raja burung), dengan babi yang mati mendadak di kandangnya, dengan jeruk manis yang jatuh dengan perlahan-lahan ke bawah, dengan kalong, dengan ijuk atau lidi yang tidak dikembalikan setelah meminjam, dengan ikan yang mati di laut…..
Adapun macam ikan yang disebutkan adalah dengke daung,25 dengke Sialumiate(dengke na malum),26 dengke sitio-tio,27 dengke nilaean (dengke saur),28 dengke rundut,29 dengke porapora,30 ihan julung-julung.31
Dalam pustaha lak-lak Panghulubalang juga disebutkan tentang ihan atau dengke julung-julung,32[3] …….ahu ma panghulubalang33 iham julung-julung sibiyang34manggono. Pida surat tondi surung ni pisona sabur di alaman. Iya tabas na surung mago batara panghulubalang ni ihan julung-julung sibiyangsa mago na pisona35 ..(Hartini, 2002 : 9).

Boru Saniang Naga

Boru Saniang Naga dalam Pustaha laklak adalah tokoh dianggap sebagai nenek yang memiliki kemampuan untuk dapat menenangkan air di danau atau menenangkan putaran air. Boru saniang naga juga adalah dewi air, dan ia dipercaya oleh para nelayan sebagai penguasa yang berperan dalam mendapatkan ikan sebagai hasil tangkapan yang diharapkan.

Disebutkan ………

…hujou hutanggo, hupangalualui, sahala ni Daompung, Boru saniang naga, saniang naga tunggal, saniang naga di jae, saniang naga di julu, protintin na rumiris, parsanggul na lumobi parbungabunga nasa tutup ni odap. Naga yang marjullak goar ni mualmu, si raja mangarabuk goar ni sampurami, si raja mumbakumbak goar ni umbakmi, si raja mompasompas goar ni pasirmi, si boru menakenak di bagasan aekmi. Hamu pangubatan arian, pangalapan bodari, tangkas hamu huboto marruma gorga, parsopo niambaruran jala parruma ijuk, na mian di tongatonga ni lautan……. (Tobing, 1963:118). Adapun terjemahan dari Tobing adalah …..
I invoke you, I appeal to you, sahala of my Ompung, Boru saniang naga, the big naga, who upstream as well as downstream possesses an infinite number of rings (the circles of the water) and the most beautiful wreaths of flowers, as large as the surface of the goat’s skin with which the drum is covered. As a source you are called the bubbling naga, and as a waterfall the prince causing spray. As the waves you are called the seething prince, at the beach you are called the prince causing breakers (your beach is called the restless prince), but in the depth you are the quiet woman. It is you that are fetched day and night (drinking water). I know it for certain that in the middle of the wide seas you have a house with wood-carvings, a barn decorated with woodcarvings and a house with a roof made of the fiber of sugar palm ……. (Tobing, 1963:119).

Naga penguasa air

Boru Saniang Naga yang dianggap sebagai penguasa air, hidup di sumber-sumber mata air, di sungai, di Danau Toba dan di laut. Dia yang menyebabkan ombak, yang menentukan hasil tangkapan nelayan itu banyak atau tidak (Tobing, 1963:117). Begitu pula dengan menurut Vergouwen yang menyebutkan bahwa selain dewa-dewa utama, misalnya Batara GuruSoripadaMangalabulan (Debata na tolu), Mulajadinabolon dan Debataasiasi juga terdapat kuasa-kuasa alami penting yang menjelma, salah satunya adalah Boru Saniang Naga. Boru Saniang Naga merupakan dewi air dalam bentuk seekor ular. Di memerintah kuasa-kuasa air, dan adalah suatu kuasa yang berbahaya dan mengancam nelayan dan orang lain yang ada hubungannya dengan aliran air. Dia dapat memberikan berkat setelah kepadanya diberikan persembahan (Vergouwen, 1986:80).
Boru Saniang Naga juga dianggap sebagai penguasa atau dewi mata air (homban). Mata airnya dianggap keramat, dan dianggap ada roh leluhur yang berdiam di dalamnya. Ada juga yang berpendapat bahwa homban adalah mata air di ladang yang dipelihara dengan baik sebagai tempat persembahan dan di sekitarnya ditanami bunga-bungaan (Wrneck, 2001:136). Selain itu diselenggarakan pula upacara patiur homban. Boru saniang naga, diimbau untuk berkenan merestuinya (Vergouwen, 1986:82). Patiur homban adalah upacara membersihkan mata air di ladang dengan mengadakan persembahan di ladang.
Keberadaan Saniang naga juga dijumpai dalam Pustaha laklak
…..alai malluga ma ibana tu tongatonga, jala mardaba ma saniang naga di jae dohot saniang naga di julu, jala mangangkat ma horsik i tu parau ni inanta. ….punggupunggu ma i ujungna, ala laut do portibi on….(Tobing, 1963 : 68). Terjemahan Tobing …row to the centre and then Saniang Naga from the north and from the south (the waves coming from the north and from the south) met with ……..in the middle of the sea….(Tobing, 1963 : 69).
Demikianlah kepada Boru saniang naga diberi persembahkan berupa bakul yang diisi dengan satu kakak tua, bulu ekor ayam putih, akar batang bambu, batu porhas (petir), kampak satu gurdi, pisau, jarum, jeruk purut masing-masing satu buah dan dibungkus dengan kain putih. Setelah itu diikat dengan benang
….sambilu dohot sada be gansip sada be lailai ni manuk na bontar dohot sada be dugul-dugul ni bulu dohot batu siporhas sada be dohot tangke dohot sada be pengkor dohot piso sada be dohot jarum na ramping …….ia dung do inon muse dirahuti ma dohot bonang manalu……..dihatahon ma tu debata na tolu dohot tu boru saniang naga…..(Purba, 1998:13).
Selain itu ada pula persembahan baginya berupa telur ayam empat butir, daun motung,36[4] sirih ditanam di gerbang besar.
…..asa dibuatmuse ma dohot pira ni manuk opat hibul dohot bulung ni motung dohot hasea inon, dohot napuran asa dihatahon ma i tu boraspati ni tano dohot tu sombaba dohot tu boru saniang naga humaliang desa na wolu dohot tu…….(Purba, 1963:19).

Botean

Kedua botean atau tambatan perahu tersebut di atas ditemukan saat diadakan penelitian arkeologis di desa Pagar Batu, Parmonangan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Menurut penduduk setempat ke dua tiang tersebut dahulu digunakan untuk menambatkan perahu.

Botean atau tiang tempat tambatan perahu.

Botean berbahan batuan andesit, berpahatkan gorga ulu paung, hiasan setengah manusia setengah hewan, mirip dengan kepala manusia yang bertanduk kerbau. Muka manusia digambarkan berwibawa dan tanduk sitingko (bertanduk bulat) lambang kekuatan. Manusia digambarkan berjambul (sijaharan) yang melambangkan banyak keturunan (hagabeon parhorasan). Di bagian bawah ada ukiran cecak (boraspati) dalam posisi menghadap ke atas. Botean dengan ukiran gorga ulu paung melambangkan keperkasaan untuk melindungi manusia seisi rumah dari hal-hal yang buruk. Serta masyarakat percaya bahwa hal itu dapat sebagai penjaga setan-setan dari luar kampung (Sirait, 1980:33).

Pahatan Gambar Perahu di Gua Umang

Berdasarkan catatan lama yang antara lain dibuat pejabat pemerintahan setempat pada masa pemerintahan Hindia Belanda di antara 1920–1930, diketahui bahwa di Tanah Karo, di sebelah baratdaya Gunung Sinabung, pada tebing sungai/Lau Garut terdapat gua umang. Masyarakat juga menyampaikan hal yang sama. Obyek tersebut merupakan data arkeologis yang menarik untuk mengetahui sejarah kebudayaan masyarakat Batak Karo yang mendiami daerah tersebut. Obyek dimaksud juga ditemukan di tempat lain di wilayah Tanah Karo, seperti Gua Umang atau Gua kemang di Sembahe, di wilayah Kabupaten Deli Serdang, atau Gua Umang di Sari Nembah di Kabupaten Karo.
Pentingnya data itu terkait dengan pengenalan orang akan gua—atau kerap disebut penduduk dengan griten, yang artinya tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah diangkat dari liang kuburnya—tersebut yang berupa lubang persegi yang dipahatkan pada tebing padas (vulcanic tuff). Berdasarkan foto lama dan keterangan masyarakat sekitar, diketahui bahwa pintu masuk gua itu berukuran sekitar satu meter persegi dengan kedalaman sekitar dua meter. Lantai gua disebutkan rata, dengan dinding tegak. Bagian depan gua umang tersebut mengesankan gambaran wajah dan terlihat bahwa pada bagian di atas lubang (hidung) terdapat guratan mata kanan dan kiri (gambar nomor 4).

Pahatan gambar perahu

Demikianlah hal menarik dari keberadaan gua itu juga karena di kiri-kanan pintu gua masing-masing terpahat gambaran perahu. Perahu pertama yang berada di sebelah kiri digambarkan lengkap dengan tiang dan layar persegi, serta kemudi di bagian samping buritan. Bagian atas/geladak perahu dilengkapi dengan pagar samping. Ujung haluan merupakan linggi yang cukup tinggi. Kemudian pada perahu yang di sebelah kanan mulut gua digambarkan adanya tokoh yang berdiri di bagian buritan/belakang. Kedua perahu itu digambarkan seolah saling berhadapan.
Dalam peninjauan yang dilakukan oleh tim Balai Arkeologi Medan pada Januari 2013 di wilayah Desa Tanjung Pasar, Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, diketahui bahwa dahulu di tebing utara Lau Pasar, di sebelah jembatan melintasi sungai tersebut yang menghubungkan daerah Tanjung dan Perbesi, saat ini terdapat sebidang tanah yang telah diratakan dengan menggunakan alat besar. Pada bidangan tanah datar hasil galian itu telah didirikan bangunan sederhana. Tebing sungai dimaksud menempati bagian selatan, sedangkan bangunan sederhana menempati bagian utara bidangan tanah datar itu. Bila sebelumnya tanah bagian utara merupakan gundukan yang cukup tinggi, hasil penggalian dipindahkan ke bagian selatan, ke bagian tebing sungai. Saat ini bagian tebing sungai itu telah rata oleh timbunan yang digali dari sebelah selatannya. Gua umang/kemang dengan ukiran bergambar perahu di bagian ambangnya telah tertutup tanah setinggi sekitar 4–5 meter. Informasi penduduk menyebutkan bahwa kejadian itu berlangsung belum lama, sekitar 2010.

Gua Umang dengan gambar perahu.

Tempat bersemayam umang

Cerita tentang Gua Umang selalu dikaitkan dengan kepercayaan tentang tempat bersemayam orang bunian yang disebut umang. Umang adalah, sebagaimana dituturkan oleh para tetua desa, orang bunian yang mirip dengan manusia, tapi memiliki ukuran fisik lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang.

Kemaritiman di Pustaha Laklak

Pustaha laklak menantang yang dianggap enteng (MAPAS) memuat tentang melawan orang atau musuh yang menanggap enteng. Melawan artinya menyakiti dengan menggunakan sarana mantra, rempah-rempah dan ayam. Jadi diyakini bisa membuat orang atau musuh menjadi sakit dan mati. Juga pustaka lak-lak yang isinya tentang pangulubalang yang digunakan untuk melawan musuh, yang dapat dijadikan pegangan oleh masyarakat pendukungnya. Naskah juga memuat tentang ramuan-ramuan, obat-obatan beserta mantera-manteranya yang dilakukan oleh seorang dukun sebagai petunjuk dan tata cara pelaksanaannya.
Naskah Batak ini merupakan koleksi Van der Tuuk yang dikumpulkannya saat dia berada di Tanah Batak selama enam (6) tahun, yaitu 1851–1857. Semua koleksi ini telah diwariskan ke Perpustakaan di Universitas Leiden, dan telah dipublikasikan pada 1925 oleh Winkler dengan judul Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden un kranken Tagen. Tulisan Winkler inilah yang menjadi sumber penulisan oleh PH. O.L. Tobing dalam karyanya yang berjudul The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God pada1963.
Demikianlah dapat dikatakan bahwa data tentang maritim diperlihatkan melalui kata yang menyebutkan bahan perahu dari kayu (parau, parparau toras tu tunggul) serta keberadaan perahu yang besar (parparau hopal na bolon). Pada gambar yang dilukiskan di pustaha lak-lak terlihat adanya perahu yang terbuat dari papan-papan kayu dengan layarnya serta empat orang penumpang yang ikut berlayar. Ada yang berdiri di buritan dan di bagian haluan perahu. Tentunya papan-papan kayu tersebut diambil dari jenis pohon besar yang memunyai daun-daun kecil, seperti yang tertulis pada pustaha laklak.

Syarat yang harus dipenuhi

Dalam pustaha laklak, kata laut juga disebutkan dalam konteks yang sangat berarti, sehingga kata ikan yang mati di laut disebutkan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penyiapan upacara yang berkenaan dengan upaya mematikan musuh. Jadi bukan ikan yang berasal dari perairan sekitar, seperti danau atau sungai yang terdapat di sekitarnya, melainkan berasal dari perairan yang berada jauh dari permukiman orang Batak. Laut sebagai perairan yang luas tentu dianggap juga memiliki banyak misteri dan kekuatan.
Secara tidak langsung, aspek kemaritiman dikenal oleh masyarakat Batak masa lalu yang bermukim di seputaran Danau Toba, karena pengenalan mereka akan wilayah pesisir yang jauh dari permukiman mereka, baik itu pantai barat maupun pantai timur pulau Sumatera. Pengenalan dimaksud terkait dengan aspek perdagangan hasil bumi dan hasil hutan di pedalaman Sumatera ke pusat-pusat perdagangan di wilayah pantai.

Sumber : kemdikbud

Posting Komentar untuk "Sejarah Pustaha Laklak dan Simbol Kemaritiman Orang Batak"